Popularitas Presiden Palestina Mahmoud Abbas turun pada titik terendah. Menurut banyak warga Palestina di Tepi Barat Sungai Jordan, Abbas (73) tidak tahu lagi apa yang terjadi di kalangan warganya, juga tidak di wilayahnya, Ramallah, tempat dia berkuasa.
Tak lama setelah tengah malam, alun-alun di tengah kota Ramallah dipenuhi orang yang setiap hari berdemonstrasi memprotes serangan Israel di Jalur Gaza. Para demonstran menyanyikan lagu-lagu Palestina, "Demi Allah, kami semua orang Palestina. Israel mati!"
Tiba-tiba terjadi kepanikan. Seperti dilaporkan koresponden Radio Netherlands, David Poort, semua orang berlarian. Gas air mata memenuhi alun-alun Ramallah, sementara Pasukan Antihuru-hara Pemerintah Palestina menahan banyak demonstran. Konon ada orang yang melambai-lambaikan bendera Hamas dan itu dilarang oleh Pemerintah Palestina. Menyerukan yel-yel Hamas juga dilarang.
Pasukan antihuru-hara diperintahkan oleh Presiden Mahmoud Abbas untuk tidak lama membiarkan demonstrasi. Setelah satu jam, alun-alun Ramallah berhasil disapu bersih. Para demonstran diperintahkan mengosongkan jalan-jalan supaya lalu lintas kembali lancar.
"Abbas ingin unjuk gigi bahwa dia tetap berkuasa," kata Lena, seorang demonstran dari Ramallah. "Namun, bagi saya ia sudah kehilangan wibawa karena bersikap lembek terhadap perang di Gaza. Ini bukan Hamas lawan Fatah. Ini lebih merupakan rakyat melawan Pemerintah Palestina."
Serangan Israel di Jalur Gaza tak pelak lagi berhasil mendongkrak popularitas Hamas di Tepi Barat Sungai Jordan, sedangkan Pemerintah Palestina makin kehilangan dukungan.
"Di jalan-jalan berkecamuk perasaan persatuan di kalangan orang Palestina, tetapi orang tetap dilarang menyuarakan dukungan terhadap Hamas," begitu Lena mengeluh. "Abbas hanya bisa omong, tidak bertindak. Hamas sekarang memimpin perlawanan terhadap Israel."
Terjepit
Presiden Palestina memang terjepit di tengah-tengah situasi yang tidak mungkin. Israel dan Amerika Serikat mengangkatnya sebagai pemimpin moderat bagi negara Palestina merdeka di masa depan. Kesepakatan ini juga berarti harus bisa menyingkirkan Hamas. Namun, karena gagalnya perundingan terakhir dua tahun silam, Abbas sekarang tidak punya andalan lagi.
Pada tahun 2005, Abbas dipilih untuk jabatan selama empat tahun. Resminya, masa jabatan itu berakhir 9 Januari lalu, tetapi Abbas menolak mundur. Menurutnya, jabatannya baru akan berakhir tahun 2010.
Di pinggir alun-alun Ramallah, didirikan sebuah tenda yang sarat dengan bahan pangan dan selimut. Di sini dihimpun bahan bantuan oleh PBB untuk diangkut ke Gaza. Ini adalah gagasan spontan warga Ramallah, bukan Pemerintah Palestina.
Beberapa hari lalu, Pemerintah Palestina mulai mengadakan aksi pengumpulan bantuan. Tenda pemerintah tegak tidak jauh dari tenda PBB, tetapi tak seorang pun datang dengan sumbangan. "Mereka hanya meniru kami," kata Amjad Taweel, pengurus Pusat Pemuda Palestina di Ramallah. "Mereka mendirikan tenda di sebelah kami. Dan itu baru mereka mulai. Mereka sangat terlambat. Mereka baru mulai setelah rakyat memulainya."
Tidak setuju
Amjad Taweel sendiri tengah menumpuk bantuan pangan di dalam tenda. "Saya bukan pendukung Hamas, saya justru anti mereka, tetapi saya dukung saudara-saudara kami di Gaza." Abbas harus melihat rakyatnya menderita di bawah pendudukan Israel. Demikian Taweel.
Tak lama setelah serbuan Israel ke Jalur Gaza dimulai, Presiden Abbas langsung menyalahkan Hamas. Kalau saja Hamas bersedia memperpanjang gencatan senjata yang berlaku sampai pekan lalu maka Israel tidak akan punya dalih untuk melancarkan serangan. Demikian pikiran Presiden Abbas. "Sudah berkali-kali saya peringatkan mereka," kata Abbas tak lama setelah Israel menghunjamkan bom mereka.
Namun, banyak orang Palestina tidak setuju dengan pendirian presiden mereka. Bahkan mereka marah karena Presiden Abbas tidak sepenuhnya mendukung rakyat Gaza. Bagi mereka, satu-satunya penyebab perang adalah pendudukan Israel.*
sumber: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar